Sering Menahan Lapar!! Kisah kakek Penjual Ikan Bertahan Hidup di Ibu Kota, Hidup Sebatang Kara
Mempunyai rumah memanglah jadi angan- angan masing- masing orang. Sedemikian itu pula yang dialami oleh Rohadi Dedi( 79).
Dedi, sapaannya ialah pedagang ikan semenjak 30 tahun terakhir.
Berakhir jari- jari tangannya dibakar sewaktu mencari lindung buat mengikuti istrinya, Julukan yang lagi ngidam, Dedi tidak lagi bertugas bagaikan pengawal pintu air.
Situasi kedua tangan yang memprihatinkan buatnya tidak dapat bertugas acak.
Semacam dikala ini, buat mengutip plastik ikan saja, Dedi sering membutuhkan dorongan pelanggannya.
" Semenjak dibakar di tahun 1986, aku jadi pedagang ikan kisaran. Ini terkini 2 tahun terakhir mangkal di Jalur Raya Cilangkap Terkini, Munjul, Cipayung, Jakarta Timur," tuturnya pada TribunJakarta. com, Kamis( 13/ 2/ 2020).
Dari mangkal di posisi itu, Dedi telah tidak lagi mendesak sepedanya. Beliau memilah buat menitipkan sepedanya di sekitaran posisi.
Sedangkan buat akses kembali perginya beliau diantar jemput oleh owner ikan yang bernama Sumarni.
Perlakuan yang diserahkan oleh Sumarni inilah yang buatnya amat berlega hati.
Sepanjang diantar jemput, Dedi dapat mengirit pengeluarannya serta dialihkannya buat bayaran kontrakannya sebesar Rp 500 ribu perbulan.
" Aku ke mari dijemput dari kontrakan di Desa Raden, Jatisampurna, Bekasi habis dinihari. Esok jika telah petang diantar kembali serupa yang memiliki ikan," jelasnya.
Tadinya, sewaktu istrinya sedang hidup, Dedi sesungguhnya mempunyai rumah. Tetapi rumah itu dijual oleh anak tirinya tanpa sepengetahuannya.
" Aku kan menikahi janda anak 3. Julukan ini sakit gula berair di jaga di RSUPN dokter Cipto Mangunkusumo. Durasi itu istri aku lagi dirawat cocok aku kembali tuh telah dijual rumahnya. Aku tahunya cocok kembali ke rumah itu telah orang lain yang tempatin,"
tuturnya.
Bagi Dedi, buah hatinya tirinya itu merasa mempunyai rumah itu. Karena, tanah rumah itu memanglah kepunyaan Julukan.
" Tanahnya memanglah kepunyaan ibunya kanak- kanak. Julukan itu bisa tanah peninggalan di Desa Raden. Tetapi kan yang bangunin rumahnya itu aku. Buah hatinya ia justru sekehendak hati saja menjual rumah itu tanpa sepengetahuan aku," tuturnya.
Kesimpulannya, dengan terdesak, Dedi menyewa rumah di area yang serupa.
Sayangnya, tidak berjarak lama, Julukan tewas bumi dampak penyakitnya. Disusul dengan buah cinta keduanya anak yang tewas di umur 3 bulan.
" Dari tahun 1996 itu istri aku tewas, anak aku pula. Setelah itu anak kualon aku telah berangkat tidak tahu kemana. Betul telah sepanjang itu pula aku hidup satu batang kara," tuturnya.
Buat penuhi kehidupan tiap harinya, Dedi cuma memercayakan pemasukan dari pemasaran ikan.
" Saat ini ini lagi hening. Sangat pemasukan bersih aku hanya Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu. Tetapi alhamdulillah kadangkala senang terdapat keuntungan lain. Tahu- tahu terdapat orang menyudahi kasih duit. Duit itu aja palingan yang aku maanfaatkan buat beri uang kontrakan," tuturnya.
Kerap kuat lapar
Hidup satu batang kara tanpa ahli kerabat, membuat Didi sering merasa kesusahan.
Mulai dari makan saja, Didi merasa amat kesusahan. Jemari tangan yang habis dibakar di tahun 1986 buatnya tidak dapat memegang apapun.
" Aku telah tidak sering makan nasi. Aku enggak dapat pegang spatula. Pegang spatula sangan sulit bikin aku. Jadi sangat aku makan ketela pohon aja. Aku hanya dapat jalani aktivitas yang dapat gunakan tangan 2," tuturnya.
Kesimpulannya, apabila tidak terdapat orang yang dapat dimintai bantu, Didi hendak menahan lapar.
Semacam dikala ditemui, Didi serupa sekali belum makan semenjak dinihari. Beliau menahan lapar sampai petang hari.
Karena, jualannya hari ini terasa amat hening. Dikatakannya, mulai pagi cuma sebagian orang saja yang membeli ikannya.
Sebagian orang yang mampir tidak terdapat yang dapat dimintai bantu buat membeli makan atau minum.
" Sepanjang ini aku jika lagi jualan memohon bantu konsumen ikan. Aku memohon belikan minum serupa ketela pohon di situ. Tetapi dari mulanya enggak terdapat yang dapat dimintai bantu. Jadi aku menunggu yang jemput aja, esok berenti di jalur. Soalnya aku belum makan dari mulanya pagi mangkal di mari," tuturnya.
Dikala ini, tiap harinya, Didi pergi diantar oleh owner ikan yang bernama Sumarni dari Desa Raden ke Munjul.
" Aku sesungguhnya pula ngambil lagi dari orang. Jadi aku ambil profit sedikit aja. Aku hanya hasrat tolong ayah aja. Jadi masing- masing pagi sesudah dinihari aku jalur dari rumah di Margonda ke Desa Raden. Aku sapuin tempat mangkalnya ayah serta ambil sepeda yang dititipin di dekat mari bikin jualan ikan," tuturnya.
" Jadi jika profit ke aku pipih betul sebab kan buat gasolin motor. Tetapi aku jujur demikian ini. Sebab itu jika ayah belum makan aku menyudahi dahulu beli ketela pohon ataupun apapun yang dapat ayah makan," tandasnya
( sumber: https:// ragam- manfaaat. blogspot. com/ 2020/ 03/ sering- menahan- lapar- kisah- kakek. html )